30 November 2023
Spread the love

Oleh :TeukuSaifuddin Alba

Virtusa.co.id

Ketika Politik Mulai ‘Tebar Pesona’ Demi Elektabilitas Para tokoh politik cukup rajin melakukan silaturahmi politik, tentu saja aksi seperti ini bukan hal baru dilakukan oleh para tokoh politik, sejak dulu sudah menjadi kegemaran.. .

Aksi tokoh-tokoh tersebut erat kaitannya dengan Pemilu dan Pilpres 2024. Pemilu masih lama, tetapi tensi politik sudah mulai semarak sejak tahun 2021. Penjajakan politik semakin intensif. Sementara, para tokoh politik mulai membuat aksi tebar pesona agar elektabilitas dan popularitasnya semakin tinggi dengan berbagai cara.

Opini masyarakat mengaitkan bahwa aksi ‘blusukan’ para tokoh itu terkait dengan kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dan Pemilu. tingkah laku politiknya sangat ekspansi, tidak hanya ‘mbalelo’ dengan arus utama partainya, bahkan secara terang-terangan terus menunjukkan gestur politiknya.

Sasaran alasan utama para tokoh – tokoh politik itu adalah kunjungan sosial dengan memberikan bantuan yang berpariasai. Misalnya bantuan sembako, bantuan kesehatan, bantuan ninit tanaman pertanian, dan juga kebutuhan nelayan. Selain dari pada itu ada pila yang membantu pengurusan bantuan rumah rehap. Namun yang banyak kita dapati mereka lakukan adalah sisi sosial dengan cara kunjungan ke rumah kaum dhuafa dan penderita penyakit berat.

Dari kunjungan itu tidak cukup hanya sampai disitu, dalam perjalanan kunjungan sering kita dapati ada pekerja media besertanya, tingkah laku blusukan para tokoh partai ke berbagai wilayah terlihat semakin rajin. Alhamdulillah kaum Dhuafa ketiban rezeki. Melihat aksi turun langsung ke masyarakat dengan datang berkunjung kerumah-rumah masyarakat memberikan bantuan, hingga membedah rumah milik warga yang tidak mampu, sesunggihnya memang ini adalah kewajiban mereka. Meskipun, kalau ditelisik dari sisi birokrasi, seharusnya aksi blusukan tak perlu terlalu viral dan sering-sering.

Yang terjadi. Apakah murni kunjungan, ada tendensi politik atau sekadar silaturahmi, yang jelas semua aktivitas seperti itu oleh para tokoh politik di unggah ke Media untuk mencari pamor, atau mungkin sebaliknya akan terjadi politik dinasti dan oligarki kerena saat ini maraknya keluarga pejabat dan elite politik yang mengadu nasib dan ikut berlaga dalam Pilkada, dan keadaan ini menuai kritik dari para pengamat politik bangsa bahkan mereka menuding sejumlah elite politik sedang membangun politik dinasti.

Pada sebuah gambaran perjalanan politik bahwa para elite politik ini dituduh hendak melanggengkan kekuasaan dengan melibatkan anggota keluarganya meraih jabatan dan posisi strategis di negeri ini. Meski setiap orang berhak untuk terlibat dalam politik, termasuk menduduki jabatan publik, namun praktik politik dinasti ini tetap dikritik. Pasalnya, praktik ini menyebabkan menguatnya personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Karena, proses pengambilan keputusan tidak lagi didasarkan pada kepentingan publik dan rasionalitas namun berdasarkan keputusan individual dari para kerabat yang berkuasa.

Politik dinasti yang mengangkangi meritokrasi ini pada akhinya bisa berujung pada oligarki. Karena, berbagai keputusan dan pengambilan kebijakan akan ditentukan segelintir orang. Politik oligarki akan menutup ruang partisipasi publik dan menggerus pelembagaan institusi politik. Oligarki akan bekerja di ruang senyap, tertutup, dan hanya melibatkan segelintir elite. Pada akhirnya, negara hanya menjadi urusan segelintir orang.
Peta politik 2024 Selain politik dinasti dan oligarki, Pilkada disebut bakal mempengaruhi lan skap dan peta politik ke depan, khususnya Pemilihan Presiden 2024.
Pilkada yang digelar di 270 daerah ini akan menunjukkan kekuatan dan wilayah kekuasaan partai politik tertentu. secara umum hasil Pilkada akan mencerminkan kekuatan partai politik di daerah yang menggelar Pilkada dan hasil Pilkada juga bisa mengubah peta koalisi, deal-deal politik, dan menggeser sejumlah nama yang santer disebut berpeluang besar maju dalam Pilpres 2024.
Partai politik akan menghitung ulang dukungan dan komposisi koalisi dengan melihat perolehan suara dalam Pilkada yang digelar hari ini. Benarkah pilkada 2024 ini akan mengubah peta politik nasional. Lalu bagaimana peta politik nasional pasca pilkada. Akankah koalisi yang dibangun partai besar dan berpengaruh bisa bertahan atau rontok di tengah jalan.

Ada berpendapat bahwa. Dalam banyak kasus politik kontemporer, teori tentang kekuasaan yang terfokus pada otoritas tidak lagi memadai untuk menjelaskan berbagai fenomena politik. Ini terjadi karena dalam sistem demokrasi masa kini, kehidupan politik merupakan ruang diskursus gagasan yang mengandaikan kemampuan berpikir rasional dari partisipannya.

Di satu sisi, sistem ini nampak adil karena menunjukkan ciri egaliter masyarakat yang akan menilai setiap gagasan secara objektif. Dalam kondisi ini, kekuasaan yang mendasarkan diri pada otoritas tidak akan mendapat legitimasi yang cukup bila tidak didukung oleh alasan alasan yang rasional dalam menjalankan kebijakannya.

Di sisi lain, dalam demokrasi semacam ini, hampir selalu muncul kelompok masyarakat dengan berbagai bentuk teknik kontrol yang mengatasnamakan rasionalitas, dijalankan
oleh tiap individu demi mencapai kekuasaan.

Dalam gagasan Michel Foucault. teknik kontrol terhadap masyarakat terjadi melalui injeksi pengetahuan dalam berbagai permainan wacana. Baginya, kehidupan bersama pada dasarnya berciri politis dan penuh dengan pertarungan rasionalitas. Di sinilah, proses hidup
bersama tidak lagi tergantung sepenuhnya pada institusi atau figur tertentu namun tergantung pada proses penyebaran pengetahuan yang diinjeksikan bagi setiap individu anggota masyarakat….Salam Pena Tua.